LABUAN  BAJO  MENUJU  KOTA  PARIWISATA

Sesuai arahan RPJMN 2025-2029, program strategis nasional  sektor pariwisata di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah pengembangan Destinasi Super Prioritas (DSP) Labuan Bajo dan Labuan Bajo sebagai Kota Pariwisata dalam 5 tahun ke depan. Ini merupakan strategi pengembangan koridor super hub Bali – Nusra sebagai pusat pariwisata dan ekonomi kreatif bertaraf internasional.  Sebagai  pusat pertumbuhan DSP,  Labuan Bajo telah dilengkapi sejumlah infrastruktur publik kota yang mumpuni dalam 5 tahun terakhir. Fasilitas ini mendukung  pengembangan wisata di  DSP Labuan Bajo dan sekaligus menjadi modal untuk meningkatkan daya saing destinasi wisata di Manggarai Barat dan NTT.

Labuan Bajo sebagai ibukota Kabupaten Manggarai Barat telah menjadi pintu gerbang Barat masuknya wisatawan ke NTT, khususnya dari Bali dan NTB. Labuan Bajo telah memainkan posisi strategis sebagai tempat transit bagi wisatawan yang akan menuju ke TN Komodo dan beberapa destinasi wisata lainnya di Pulau Flores. Kelengkapan fasilitas penunjang seperti hotel, restoran, pusat suvenir, perbankan, pasar, toko dan lainnya membuat Labuan Bajo menjadi pilihan untuk transit. Namun masih ada sejumlah kendala dan upaya lainya yang perlu dilakukan untuk  meningkatkan kualitas pariwisata di Labuan Bajo tidak sebatas menghadirkan infrastruktur.  Upaya tersebut antara lain pelayanan yang berkualitas sehingga wisatawan betah dan nyaman, penanganan sampah dan limbah kota dan penataan usaha pariwisata yang memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat setempat.

Kalau  kita kembali ke teori – teori kota wisata, kriteria untuk mengembangkan sebuah kota menjadi kota wisata yang utama memiliki kelengkapan Komponen 3 A Pariwisata dari Atraksi, Aksesibilitas dan Amenitas. Selanjutnya memiliki   potensi dan keunikan lokal yang dapat menjadi daya tarik  seperti  sejarah kota, budaya, yang dipadu dengan  keindahan alam dan atau buatan. Dan yang terakhir memiliki daya saing pariwisata kota (city tourism competitiveness) yang diartikan sebagai kemampuan sebuah kota untuk menyediakan jasa wisata kepada wisatawan dengan kondisi yang lebih baik dari kota-kota lainnya (Cibinskiene et.al, 2015). Terdapat sejumlah faktor untuk meningkatkan daya saing pariwisata kota baik internal maupun eksternal yang perlu diidentifikasi. Faktor Internal  tersebut meliputi sumber daya alam, kelembagaan kepariwisataan, infrastruktur wisata dan rekreasi yang ada. Untuk eksternal ada Kondisi Politik, ekonomi, sosial budaya, alam dan ekologi.

Setelah teori, tidak ada salahnya kita belajar dari pengalaman  kota lain yang sukses. Tidak untuk mengutip 100 persen. Belajar cara mereka untuk mengelola potensi yang dimiliki dan memanfaatkan bagi  pengembangan kota wisatanya. Salah satu contoh adalah  Kota Batu di Jawa Timur yang dianggap berhasil mengembangkan Kota Wisata Batu dengan pendekatan pada kekuatan keindahan alam , dipadukan dengan pengembangan agrowisata dan wisata  buatan. Potensi Kota Batu adalah  menawarkan udata sejuk pegunungan karena berada di dataran perbukitan dengan ketinggian antara  700 – 1700 m dpl. Banyak daya tarik wisata khususnya alam dan dipadukan dengan wisata buatan yang dibangun seperti Jatim Park, Museum Angkot, Taman Dinosaurus yang meningkatkan keanekaragaman daya tarik wisata. Hasilnya pada tahun 2024, jumlah wisatawan ke Kota Batu menembus angka 10 juta wisatawan dengan kontribusi pemasukan dari sektor wisata dari PAD cukup besar di samping sektor jasa. Menurut Walikota Batu Nurochman, sektor pariwisata telah mampu menyumbang 35 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Batu. 

Sebagai pembanding, dari luar negeri ada  kota Bangkok di  Thailand yang menjadi kota dengan pengunjung wisata terbanyak di dunia tahun 2024, versi  penilaian Euromonitor International.  Kunjungan wisatawan ke Bangkok tahun 2024 menembus  angka sekitar 32,4 juta wisatawan. Apa keistimewaan dan keunggulan sehingga mampu mengalahkan kota lain termasuk kota – kota  di Indonesia?  Bangkok adalah kota tujuan wisata dunia yang sangat popular dengan daya tarik utamanya adalah kombinasi kekayaan budaya dan sejarah (seperti Grand Palace dan kuil Wat Arun), kuliner yang beragam (dari jajanan kaki lima hingga restoran fine dining), serta kebijakan visa yang ramah. Kebijakan visa yang ramah merupakan faktor internal terkait kebijakan kelembagaan yang ternyata  meningkatkan daya saing pariwisata kota Bangkok dibanding kota lainnya. Di samping itu memiliki infrastruktur penunjang wisata yang mumpuni seperti hotel, resto dan jaringan transportasi kota dari sederhana sampai modern seperti MRT. Dari  pengalaman kedua kota ini, maka dapat disimpulkan, untuk membangun Labuan Bajo sebagai kota pariwisata perlu ada daya tarik wisata yang beraneka ragam, baik wisata alam, budaya dan buatan. Untuk makin memperkuat keanekaragaman,  perlu didukung dengan keberadaan event/ festival kota berkala dan sudah ada beberapa festival seperti Festival Golo Koe dan Festival Komodo. Namun yang belum ada adalah keberadaan sejarah kota, museum dan fasilitas rekreasi seperti pusat perbelanjaan yang dapat menjadi sarana rekreasi / hiburan tambahan bagi pengunjung dan wisatawan. Selanjutnya potensi kearifan lokal Labuan Bajo perlu  terus digali dan mengembangkan pelayanan dan tata kelola industri pariwisata.

Kawasan waterfront city  dan creative hub Puncak Waringin, menjadi salah satu daya tarik wisata buatan di Kota Labuan Bajo. Sumber : istimewa

Kelengkapan infrastruktur pendukung wisata di kota Labuan Bajo memang terus dibangun dan ditingkatkan seperti hotel dan restoran sudah cukup banyak. Data dari BPOLBF tahun 2024, ada   146 hotel dengan 2792 kamar dan 118 restoran di Labuan Bajo dan sekitarnya. Kelengkapan infrastruktur yang perlu disiapkan adalah moda transportasi dalam kota dan penghubung ke luar  kota dengan mengembangkan konsep transportasi umum massal. Terkait penataan infrastruktur kota, di sini pentingnya kahadiran rencana tata ruang kota. Dari berbagai informasi yang dihimpun, Labuan Bajo sudah memiliki Rencana Tata Ruang Kota. Sehingga yang masih perlu dilakukan adalah menyusun  rencana tata ruang sampai skala kawasan kota dalam bentuk Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL). Rencana tata ruang kota Labuan Bajo sendiri   akan menjadi pedoman pemanfaatan dan pengendalian ruang kota, termasuk untuk menata jaringan transportasi kota. Rencana tata ruang juga menjadi  pedoman kegiatan investasi Labuan Bajo sebagai Kota Pariwisata.

Labuan Bajo memiliki fasilitas hotel dan restoran bertarap internasional yang siap memanjakan pengunjung dan wisatawan. Sumber : istimewa

Selanjutnya pembangunan kota Labuan Bajo perlu menampilkan  potensi lokal setempat agar memiliki  keunikan/kekhasan  dengan kota lain. Yang sudah dilakukan adalah pembangunan kawasan water front city dari Kampung Ujung sampai zona Bukit Pramuka dengan Plaza Marina Labuan Bajo sebagai point of interest kawasan. Kemudian ada Puncak  Waringin sebagai pusat creative hub. Kedua kawasan ini mencoba  mengadopsi arsitektur lokal Manggarai. Kegiatan rebranding  Bandara Komodo, melalui  nuansa keunikan budaya lokal Manggarai yang hadir pada bangunan terminal Bandara Komodo. Namun secara umum dari aspek penggunaan potensi lokal pada bangunan masih kurang atau lemah, karena banyak fasilitas bangunan publik yang dibangun khususnya hotel dan restoran,  kurang memperlihatkan ciri khas arsitektur setempat. Yang kita inginkan adalah setiap pengunjung  dan wisatawan yang datang ke kota Labuan Bajo merasakan,  menikmati dan memiliki memori  pengalaman ruang khas NTT dan atau khususnya  daerah Manggarai, bukan seperti merasa berada di tempat lain yang seragam / universal.

Wajah baru bangunan Terminal Bandara Udara Komodo Labuan Bajo hasil revitalisasi dan rebranding . Sumber : istimewa

Sebagai provinsi kepulauan, tentu kita juga memperhatikan pengembangan kota lain. Misalnya Kota Kupang, ibukota provinsi dan  sebagai pintu  gerbang wisata NTT di bagian Selatan Indonesia. Kupang sebagai kota pantai, memang sudah memiliki potensi daya tarik wisata seperti pantai dan ruang terbuka publik. Namun yang perlu dilakukan adalah meningkatkan keanekaragaman daya tarik wisata. Seperti   revitalisasi kota lama untuk wisata sejarah kota, event/festival kota secara berkala. Kemudian penyiapan infrastruktur kota seperti air bersih, penanganan sampah dan penataan transportasi kota berbasis transportasi massal.  Sementara untuk kota lainnya, khususnya kota yang menjadi ibukota kabupaten, dapat memainkan peran sebagai tempat transit wisatawan. Potensi dan masalah yang dihadapi setiap kota perlu diidentifikasi untuk membangun keunikan. Warga kota juga perlu rekreasi dan berwisata, sehingga di samping  infrastruktur kota ditingkatkan kualitasnya secara bertahap, minimal menyiapkan tempat rekreasi  seperti ruang terbuka publik yang multifungsi  untuk rekreasi, taman hiburan, arena pameran dan festival yang ikut promosikan budaya dan produk UMKM masyarakat.

Kupang, 28 November 2025

Paul J. Andjelicus
ASN Dinas Parekraf NTT
Anggota IAI Provinsi NTT

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *