Implementasi Bangunan Gedung Hijau pada Bangunan Gedung Fasilitas Wisata Tinjauan dari Aspek Perencanaan
Paul J. Andjelicus
Perencana Madya Spasial Dinas Parekraf NTT
Anggota IAI Provinsi NTT
Bangunan gedung merupakan bagian terpenting dari kehidupan manusia sebagai tempat tinggal, bekerja, bermain, beraktivitas, beristirahat dan perlindungan dari segala kondisi lingkungan luar. Sebanyak 80 persen waktu dapat dihabiskan di dalam bangunan gedung. Namun bangunan gedung saat ini mengkonsumsi 36 persen energi global dan menghasilkan 39 persen emisi karbon global dimana 28 persen berasal dari emisi operasional yaitu dari energi yang dibutuhkan bangunan gedung untuk proses pemanasan, pendinginan, ventilasi dan pencahayaan untuk menciptakan iklim ruangan buatan dan 11 persen sisanya berasal dari material dan konstruksi (World Green Building Council, 2021). Konsumsi energi bangunan gedung mencapai 25 persen dari total biaya operasi bangunan dan sekitar 50 persen energi yang digunakan oleh bangunan gedung menciptakan iklim ruangan bangunan (ESDM,2012). Hal ini menempatkan bangunan gedung menjadi sektor yang paling berkontribusi terhadap perubahan iklim (climate change).
Untuk merespon isu climate change, maka digagas Konsep Bangunan Gedung Hijau (BGH) yang merupakan salah satu komitmen Indonesia untuk menjalankan Perjanjian Paris tahun 2015 yang bertujuan menjaga agar kenaikan suhu rata-rata global tetap di bawah 1,5 ° C pada tahun 2030. Di samping untuk meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap dampak negatif perubahan iklim, mencapai ketahanan iklim dan pembangunan rendah emisi tanpa mengganggu produksi pangan, serta menyusun skema pendanaan untuk mendukung pembangunan rendah emisi dan ketahanan iklim (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2016).
Sesuai PP Nomor 16 Tahun 2021, Bangunan Gedung Hijau adalah bangunan gedung yang memenuhi standar teknis bangunan gedung dan memiliki kinerja terukur secara signifikan dalam penghematan energi, air, dan sumber daya lainnya melalui penerapan prinsip BGH sesuai dengan fungsi dan klasifikasi dalam setiap tahapan penyelenggaraannya. Menurut Nirwono Joga (pengamat tata kota Universitas Trisakti), konsep BGH sama dengan bangunan ramah lingkungan yang menekankan pada efisiensi penggunaan air, energi dan material bangunan. Efisiensi ini dapat menghemat anggaran biaya operasional dengan tetap menjaga kualitas dan tampilan bangunan serta ramah lingkungan. Untuk Indonesia dengan iklim tropis, konsep BGH adalah yang paling tepat dengan memanfaatkan kekayaan sinar matahari dan hembusan angin melalui desain arsitektur yang berkualitas.
Dalam industri pariwisata, memerlukan bangunan gedung baik sebagai produk usaha, unsur penunjang maupun daya tarik wisata itu sendiri. Bangunan gedung sebagai produk usaha seperti akomodasi (hotel, vila, resort), fasilitas MICE atau restoran misalnya, wajib memenuhi standar keselamatan dan kenyamanan kepada pengguna, wisatawan, pengelola dan masyarakat sekitar. Sementara bangunan gedung sebagai unsur penunjang contohnya pada daya tarik wisata alam (pantai, pemandangan), produk wisata yang ditawarkan adalah keindahan alamnya bukan bangunan. Kehadiran bangunan sebagai unsur penunjang dalam bentuk kantor pengelola, toilet, gudang, kantin, bangunan shelter, souvenir shop dan lainya. Namun kehadiran gedung dengan desain arsitektur yang ikonik dapat menjadi daya tarik wisata itu sendiri seperti Gedung Kantor Gubernur NTT yang berbentuk Sasando.
Berbagai gedung untuk fasilitas wisata seperti tersebut di atas, tidak terlepas dari ketentuan dan kewajiban memiliki standar teknis bangunan gedung. Standar teknis tersebut meliputi standar perencanaan dan perancangan gedung yang terdiri dari ketentuan tata bangunan; keandalan bangunan; ketentuan bangunan gedung di atas dan/atau di dalam tanah, dan/atau air dan/atau prasarana atau sarana umum; ketentuan desain prototipe/purwarupa; standar pelaksanaan dan pengawasan konstruksi dan standar pemanfaatan bangunan gedung (UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Pasal 24 angka 4).
Tulisan ini berupaya menampilkan garis besar upaya penerapan prinsip BGH pada bangunan gedung fasilitas wisata dari aspek perencanaan yang meliputi pengelolaan tapak, penghematan energi, penghematan air, kualitas udara ruang, penggunaan material, pengelolaan sampah dan pengelolaan air limbah. Bangunan gedung fasilitas wisata juga perlu berkontribusi untuk mengurangi emisi karbon untuk pembangunan berkelanjutan.
Pengolahan Tapak
Desain pengolahan tapak dilakukan melalui pemilihan tapak yang tepat sesuai peruntukan lahan yang diatur dalam ketentuan tata ruang dan tata bangunan yang berlaku. Pengolahan tapak hasil pemilihan tapak selanjutnya dilakukan analisis tapak (site analysis) untuk menghasilkan posisi massa bangunan, konsep bentuk dan orientasi bangunan, pola sirkulasi tapak, penyediaan lahan parkir dan penempatan kebutuhan penunjang lainnya sesuai fungsi bangunan dalam tapak.

Gambar 1 . Analisa Tapak (site analysis) dalam Pengelolahan Tapak
Sumber : https://rancangrekaruang.id/
Penataan tapak lahan perlu disesuaikan dengan regulasi tata ruang dalam Keterangan Rencana Kota (KRK) dan atau Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) pada kawasan itu yang mengatur Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien lantai Bangunan (KLB), Koefisien Tinggi Bangunan (KTB) dan Koefisien Dasar Hijau (KDH). Ini akan menghasilkan luasan terbangun dan luasan non terbangun pada tapak lokasi termasuk penyediaan ruang terbuka hijau (RTH) yang cukup baik RTH publik maupun privat. Pada desain bangunan hotel misalnya, luas lantai, posisi dan ketinggian bangunan ditentukan berdasarkan aturan koefisien tersebut.
Hal penting dalam pengelolaan tapak adalah orientasi bangunan yang memaksimalkan pencahayaan alami dan meminimalkan rambatan radiasi panas ke bangunan. Orientasi dan bentuk massa bangunan disesuaikan dengan bentuk dan kemiringan lahan, jaringan jalan, bangunan sekitar dan pergerakan matahari tiap tahun. Orientasi bangunan pada umumnya menghadap Utara – Selatan pada bagian sisi terpanjang bangunan agar terhindar dari paparan matahari langsung dari Timur dan Barat.
Penghematan Energi
Desain dilakukan untuk mencapai tingkat energi optimal sesuai fungsi bangunan gedung, mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan mengurangi biaya terkait penggunaan energi yang berlebihan. Desain arsitektur bangunan termasuk untuk bangunan gedung fasilitas wisata adalah melalui desain pasif yaitu desain arsitektur yang memaksimalkan iklim setempat dan kondisi lahan agar tetap maksimal memberikan kenyamanan bagi pengguna bangunan gedung tanpa bergantung pada peralatan mekanis untuk mengatur suhu ruangan seperti air conditioner, water heater, exhaust fan termasuk kipas angin.
Namun dalam beberapa kasus desain pasif kurang maksimal dan memerlukan kombinasi dari pendekatan desain aktif. Desain aktif adalah desain arsitektur yang menggunakan teknologi terkini agar bangunan tetap menjadi efisien dalam pengguna energi seperti penggunaan solar panel untuk energi listrik, AC atau penggunaan material modern dengan teknologi terbaru seperti kaca emisitas rendah (Low E) untuk dinding bangunan.

Gambar 2: Prinsip Desain Pasif Pada Bangunan Gedung
Sumber : Greenhometechologycenter
Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain desain selubung bangunan menggunakan material yang dapat menyerap panas dengan baik, termasuk penggunaan elemen pelindung bangunan (sun shading) dengan material yang dipakai beton, alumanium, kayu, bambu, GRC.
Penggunaan material atap yang mampu memantulkan atau menyerap panas karena sebagain besar bidang gedung merupakan bagian atap yang langsung terpapar sinar matahari. Beberapa material bahan atap lokal seperti bambu atau alang-alang menjadi pilihan utama untuk bangunan gedung fasilitas wisata. Sementara untuk bahan atap seng dipilih yang berwarna putih atau dilakukan pelapisan dengan cat anti radiasi panas. Sementara material atap modern antara lain atap bitumen.
Desain sistem pencahayaan alami diharapkan memberikan tingkat pencahayaan ruangan pada pagi dan siang hari, melalui desain ventilasi / bukaan pada dinding bangunan, baik dimensi dan posisinya dengan minimal 10 % dari luasan ruangan atau menurut SNI 03-2396-2001 Tentang Tata Cara Perancangan Sistem Pencahayaan Alami, luas lubang cahaya sebaiknya berkisar antara 20-50 % dari luas lantai.
Termasuk upaya memasukkan cahaya dari atap lewat bukaan sky light dari bahan glazing seperti polycarbonate, glass dan akrilik. Ketiga bahan ini merupakan isolasi termal yang baik karena mampu meredam radiasi sinar ultraviolet sehingga mengurangi panas yang masuk dalam bangunan tanpa menghilangkan sinar terang yang masuk.
Pengkondisian udara alami didesain melalui penempatan bukaan untuk sirkulasi udara dengan sistem ventilasi silang dengan penempatan inlet dan outlet yang tepat, adanya outlet pada bagian atas ruangan untuk mengeluarkan udara panas. Ventilasi alami disediakan harus terdiri dari bukaan permanen, jendela, pintu atau sarana lain yang dapat dibuka, dengan jumlah luasan bukaan ventilasi tidak kurang dari 5 % terhadap luas lantai ruangan yang membutuhkan ventilasi. Ventilasi mekanik seperti sistem intake air dan exhaust air dapat diberikan apabila ventilasi alami kurang memadai (SNI 03-6572 2001 :Tata Cara Perancangan Sistem Ventilasi dan Pengkondisian Udara pada Bangunan Gedung)
Sistem kelistrikan perlu didesain agar menghindari pemborosan energi dengan penggunaan cahaya alami khususnya pada siang hari dengan ventilasi yang cukup dengan memperhatikan tingkat kebutuhan pencahayaan ruangan suatu gedung sesuai fungsi. Bangunan seperti hotel dan restoran rata-rata membutuhkan tingkat pencahayaan 100-300 lux, misalnya untuk kamar tidur hotel sebesar 150 lux dengan daya pencahayaan maksimun 17 W/m2. Sementara ruang makan pada restoran membutuhkan tingkat pencahayaan 250 lux dengan daya pencahayaan maksimum 25 W/m2. (SNI 03-6197-2000:Konservasi energi pada sistem pencahayaan). Di samping itu perlu didesain pengelompokan beban listrik dan pemasangan alat ukur energi listrik pada bangunan
Penghematan Air
Upaya dilakukan untuk mengurangi kebutuhan air bersih pada bangunan gedung dan beban air yang dihasilkan dari bangunan gedung terhadap lingkungan. Desain ini merujuk pada standar penggunaan air bersih pada restoran 15 liter / kursi sementara untuk hotel berbintang 250 liter /tempat tidur / hari dan untuk hotel non bintang sekitar 150 liter/tempat tidur/hari (SNI 03-7065-2005: Tata Cara Sistem Perencanaan Plumbing).
Pemakaian sumber air utama dari penyediaan jasa dan air tanah maksimum 90 % dari total kebutuhan air dengan sumber air tanah (sumur dalam) maksimal hanya 20 % sehingga perlu menghindari penggunaan air tanah sebagai sumber air utama. Menyiapkan penyediaan air secara mandiri untuk kebutuhan sekunder melalui air daur ulang, air hujan dan air dari kondensasi dari unit pengkondisian udara. Penggunaan air hujan dengan volume penampung air hujan paling sedikit 0, 05 x luas lantai dasar.
Efisiensi penggunaan air pada bangunan gedung dapat dilakukan melalui penggunaan peralatan saniter hemat air (water fixtures). Penggunaan peralatan ini harus memiliki kapasitas penghematan air yang diperhitungkan minimum dari standar kebutuhan air yang telah ditetapkan. Contohnya menggunakan kloset sistem dual flush, urinal, pancuran air (shower), wastafel sesuai standar Green Building Council Indonesia.
Kualitas Udara Ruang
Desain dilakukan untuk meningkatkan kualitas udara dalam ruang yang mendukung kenyamanan dan kesehatan pengguna bangunan gedung yang dapat dilakukan antara lain dengan menjamin sirkulasi udara yang baik dengan desain ventilasi bukaan yang cukup. Pengendalian penggunaan material yang tidak mengandung zat pencemar yang menimbulkan bau, iritasi, dan berbahaya bagi pengguna bangunan. Zat tersebut seperti yang ada dalam cat, material dinding, bahan pelapis dan perekat, kayu olahan, furnitur, material plafon, atap yang mengandung asbes.
Pengendalian penggunaan refrigerant atau freon pada alat pendinginan ruangan (AC) dengan penggunaan AC yang ramah lingkungan dan tidak mengandung CFC (chioro floro carbon). DIsarankan mengunakan AC dengan freon R 32 yang ramah lingkungan dengan ODP = 0 dan atau GWP > 700. Menyiapkan ruangan khusus untuk merokok atau area luar bangunan seperti taman pada fasilitas wisata yang dirancang untuk kenyamanan wisatawan.
Penggunaan Material
Pemilihan material yang tepat dilakukan untuk mengurangi jumlah zat pencemar yang menimbulkan bau, iritasi, dan berbahaya bagi kesehatan dan kenyamanan pengguna bangunan. Pengendalian bahan bangunan ini dilakukan terhadap pemakaian bahan material yang mengandung bahan berbahaya yang biasa ditemukan pada pewarna, pelapis, perekat, kayu olahan, furnitur, kertas pelapis dinding, penutup atap. Penggunaan material bersertifikat ramah lingkungan (eco labelling) dan penggunaan material bangunan lokal setempat yang tersedia seperti batu, bambu, kayu dan alang-alang menjadi pilihan utama bagi fasilitas wisata seperti hotel, resort hotel dan restoran di kawasan wisata.
Pengelolaan Sampah
Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kesehatan pengguna, aman bagi lingkungan dan perubahan perilaku pengguna bangunan serta mengurangi timbulan sampah kota. Desain dilakukan dengan penyediaan fasilitas pemilahan sampah, pengumpulan sampah dan pengolahan sampah pada bangunan gedung. Hotel dan restoran misalnya menghasilkan cukup banyak sampah dengan berbagai jenis baik organik maupun non organik.
Tempat sampah minimal untuk 3 jenis sampah yaitu sampah organik, non organik dan sampah B3. Sampah B3 dari limbah dapur seperti gas elpiji, soda kaustik, kaporit atau desinfektan, spiritus/alkohol, detergen dan limbah lainnya seperti cat, pengencer, oli mobil, aki bekas, baterai, cairan pembersih lantai, pestisida dan lainnya. Adanya fasilitas pemilahan dan pengolahan sampah menjadi gerbang penerapan prinsip 3 R (reduce, reuse, recycle) seperti sampah wadah plastik yang dapat dikumpulkan dan disalurkan ke tempat pengumpul yang ada untuk proses daur ulang.
Pengelolaan Air Limbah
Pengelolaan dilakukan untuk mengurangi beban air limbah yang dihasilkan dari bangunan gedung terhadap lingkungan dan mencegah timbulnya penurunan kualitas lingkungan di sekitar bangunan.
Adanya fasilitas pengelolaan air limbah untuk air limbah domestik (black water) sebelum dibuang ke saluran pembuangan kota. Untuk bangunan gedung seperti hotel berbintang fasilitas pengelolaan air limbah wajib dimiliki. Upaya daur ulang air limbah yang dapat mencapai baku mutu standar, dapat dimanfaatkan kembali sebagai air sekunder seperti untuk menyiram tanaman.