Membangun Melestarikan Bumi
Paul J. Andjelicus
ASN Dinas Parekraf Provinsi NTT
Anggota Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Provinsi NTT
Memperingati Hari Bumi 2025 yang diperingati setiap tanggal 22 April, Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) menerbitkan buku dengan judul “MEMBANGUN MELESTARIKAN BUMI” melalui penerbit UNNES Press Semarang. Buku ini terdiri dari empat seri yang menggambarkan relasi manusia dan bumi yaitu : kota (urban), budaya lokal (lokal), lanskap ekologis (ruang terbuka hijau), dan aneka inovasi lintas bidang (miscellaneous). Buku ini tidak hanya mengumpulkan gagasan akademik, tetapi juga berbagai cerita, praktik, dan tafsir ruang yang hidup di tengah masyarakat dari beragam perspektif. IPLBI berharap buku ini dapat memperkaya wacana dan aksi lingkungan yang inklusif, adaptif, dan berkelanjutan di Indonesia.
Buku ini berisikan 48 judul tulisan dari 56 penulis kontributor dari berbagai latar belakang untuk merentang perspektif dalam merawat keberlanjutan Bumi dan menjadi benang-benang yang saling menjalin dalam merespons perubahan zaman dan krisis lingkungan. Masing-masing tema membawa nuansa dan kedalaman sendiri, namun semuanya berpusat pada satu tujuan untuk menjaga keberlanjutan Bumi dengan cara yang adil, kontekstual, dan bermakna. Para penulis berpendapat bahwa masa depan Bumi tidak dibangun oleh satu sudut pandang saja, melainkan oleh keberagaman cara pandang yang berpadu dengan tindakan nyata. Ini dapat terlihat dari kota yang terus berubah, jejak tradisi lokal yang membumi, sampai inovasi hijau dan narasi komunitas.

Penulis sendiri ikut terlibat dengan menyumbangkan gagasan dan ide dengan judul “Kajian Zonasi Pengembangan Kawasan Wisata Lelogama Kabupaten Kupang, Strategi Konservasi Observatorium Nasional Timau Kupang” yang dimuat dalam serial keempat aneka inovasi lintas bidang. Kehadiran Observatorium Nasional Timau di Kawasan Wisata Lelogama Kabupaten Kupang, sebagai daya tarik wisata baru (tematik iptek / astronomi) diyakini akan mengubah lanskap pembangunan kawasan. Belajar dari pengalaman Observatorium Boscha Lembang Bandung yang tidak dapat beroperasi maksimal sejak tahun 1980 akibat polusi cahaya dan debu sebagai dampak pembangunan kawasan yang pesat, maka sejumlah batasan dan arahan perlu segera disusun. Salah satunya melalui arahan penataan ruang kawasan dengan zonasi kawasan.

Mengutip informasi dalam pengantar buku ini, pada Buku serial Pertama menyajikan berbagai upaya untuk Menenun Masa Depan Kota, dari Resiliensi Sosial hingga Kecerdasan Ekologis. Masa depan kota tidak lagi hanya diukur dari tinggi gedung atau lebar jalan, melainkan dari seberapa jauh ruang-ruangnya menjawab kebutuhan manusia dan planet. Narasi-narasi dalam kumpulan tulisan pada bagian ini merangkai sebuah cerita besar tentang regenerasi urban yang berpijak pada empati, adaptasi, dan kolaborasi. Kemudian pada Buku serial Kedua terpampang gagasan Menyulam akar nusantara melalui arsitektur, ruang, dan kearifan lokal dalam jejak keberlanjutan. Ketika dunia sibuk mengejar masa depan yang canggih dan serba otomatis, sejumlah tulisan dalam bagian ini justru mengajak kita menoleh ke belakang bukan untuk kembali, melainkan untuk menyerap makna yang telah tertanam lama dalam budaya dan ruang hidup nusantara.
Kemudian pada Buku serial Ketiga, berbicara pentingnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai nadi kota yang menghidupi dan menghidupkan. Di tengah arus urbanisasi, narasi – narasi dalam bagian ini mengingatkan kita bahwa keberlanjutan kota tidak terletak pada seberapa tinggi gedung dibangun, tetapi pada seberapa luas ruang diberikan kepada alam untuk bernafas. Dan pada Buku serial Keempat, terdapat ragam inovasi untuk Bumi: dari pasar, algoritma, hingga langit malam. Keberlanjutan tidak hadir dalam satu bentuk tunggal, melainkan menjelma dalam berbagai wajah dari lembah Timor yang gelap dan jernih hingga algoritma canggih dalam bengkel digital. Tulisan-tulisan dalam bagian ini menampilkan spektrum gagasan yang saling terkait antara ruang, budaya, teknologi dan kesadaran ekologis.

Secara garis besar buku ini menawarkan gagasan keberlanjutan yang utuh untuk merawat Bumi. Kota tidak hanya ruang fisik saja, melainkan ruang hidup yang menuntut keseimbangan antara teknologi dan nilai manusia. Pada sisi lain, warisan lokal tetap menawarkan cara hidup yang bersahabat dengan alam yang dapat diteladani dan bukan sekedar warisan, tetapi juga solusi kehidupan. Ruang terbuka hijau yang hadir menjadi penyangga sosial-ekologis yang menyehatkan dan menyatukan, bukan sekedar memanjakan mata. Semua gagasan yang ada sepakat menjalin narasi bahwa Bumi yang lebih lestari hanya bisa tercipta dari kolaborasi lintas bidang dan keberanian untuk kembali melihat ke dalam pada manusia, budaya, dan ruang yang kita huni.

Finally, buku ini pada hakekatnya berupaya menawarkan gagasan untuk merancang ulang kota dan ruang. Lebih jauh lagi, sebuah ajakan untuk membayangkan kembali keinginan kita untuk hidup bersama di Bumi dengan lebih sadar, lebih bijak dan lebih peduli. Mari kita terus menjaga harapan dan bergerak bersama membangun dan melestarikan Bumi yang dapat diawali dengan membaca berbagai narasi dalam buku ini. Informasi lebih lanjut untuk memiliki buku ini dapat menghubungi IPLBI (iplbi.or.id / instagram @iplbi) atau UNNES Press Semarang.
Dokumentasi : Pribadi